FITRA Ungkap 4 Modus Korupsi Petahana Maju Pilkada
PALEMBANG, KabaRakyatsumsel.com--Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) kini mengungkapkan modus-modus tindak pidana korupsi kepala daerah yang disinyalir telah terjadi di masa kewenangannya memimpin suatu daerah untuk persiapan kembali maju di Pilkada.
Dari jumlah keseluruhan pasang calon (Paslon) di Pilkada Serentak 2018 yang tersebar se-Indonesia saat ini, diketahui sebanyak 19 persen merupakan Paslon dari Petahana yang maju kembali merebut kedudukan sebagai orang nomor satu di suatu daerah.
Salah satunya, pesta demokrasi pemilihan wali kota dan wakil wali kota di Prabumulih yang akan berlangsung pada 27 Juni mendatang. Diketahui pula, Pilkada Prabumulih itu hanya memiliki satu Paslon tunggal Incumbent, Ridho-Fikri yang akan melawan Kotak Kosong (Koko) sebagai pilihan sah bagi masyarakat yang tidak setuju dengan Paslon tunggal tersebut.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto melalui Koordinator wilayah Provinsi Sumsel, Nunik Handayani menuturkan ada sekitar empat modus korupsi yang biasa dilakukan kepala daerah yang hendak maju kembali di Pilkada. Yang pertama yakni memanfaatkan dana hibah atau bantuan sosial (bansos).
“Banyak temuan-temuan dari penggunaan anggaran di APBD Pemkot Prabumulih itu,seperti pendapatan dari biaya administrasi IMB pada Dinas PU yang ditemukan tidak melalui mekanisme kas daerah. Proses seleksi pemberian penghargaan kepada ASN dan masyarakat pun tidak memadai,” ungkap Nunik seraya mengatakan selain itu pertanggung jawaban penggunaan dana hibah yang tidak sesuai ketentuan senilai Rp91,674 juta juga ditemukan, Kamis petang (9/5).
Berdasarkan dari hasil temuan pihak Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pada dua tahun terakhir di Pemkot Prabumulih, Nunik membeberkan bahwa FITRA menemukan pola pendanaan yang sama pada hibah dan bansos. Selain itu, adanya indikasi peningkatan dana hibah di tahun 2017 lalu juga terjadi.
“Dana hibah dan bansos merupakan diskresi kepala daerah sehingga sang kepala daerah bisa dengan leluasa mengucurkan dana segar kepada kelompok masyarakat tertentu demi kepentingan Pilkada. Ini sama saja alat mobilisasi yang ampuh pencitraan bagi masyarakat, sehingga masyarakat berfikir dan bersimpatik sesuai kehendak kepala daerah” kata dia.
Modus korupsi kedua, lanjut Nunik, adalah memanfaatkan silpa. Menurutnya, silpa atau sisa lebih penggunaan anggaran adalah selisih antara surplus atau defisit anggaran dengan pembiayaan bersih. Modusnya, mendepositokan atau menginvestasikan silpa suatu mata anggaran.
“Hasil keuntungan perputaran uang silpa tersebut otomatis tidak masuk kembali ke kas daerah, melainkan masuk ke kantong pribadi kepala daerah tersebut,” sambung Nunik.
Lebih lanjut diterangkan dia, pola suntikan dana dalam jumlah besar ke BUMD inipun menjadi modus selanjutnya disaat paslon Incumbent masih menjabat sebagai wali kota. Usut punya usut, ternyata dengan penyuntikan dana besar itu berimbas pada besarnya pula devidennya.
“Uang deviden itulah yang patut diduga digunakan untuk pembiayaan Pilkada. Apalagi tidak ada prosedur yang jelas dalam peraturan perundangan mengenai dana investasi, laba dan deviden seringkali dimanfaatkan untuk dijadikan bancakan kepala daerah petahana," tuturnya.
Modus korupsi kepala daerah petahana yang keempat adalah Mark down pendapatan asli daerah (PAD). Modus ini dilakukan dengan menurunkan potensi pendapatan dalam tahun anggaran tertentu.
Disampaikan dia, ketika terealisasi, pendapatan yang masuk lebih tinggi dari potensi yang tertera pada rancangan APBD.
“Selisih itu yang akan masuk ke kantong kepala daerah yang maju lagi dalam pilkada. Seperti disampaikan Sekjen kita bahwa modus ini juga harus memiliki relasi yang kuat antara eksekutif dengan legislatif. Karena dalam perencanaan, melibatkan legislatif juga,'' tandasnya.
Ia pun menegaskan modus-modus ini nyata terjadi di lapangan. Pihak FITRA pun akan terus mendesak semua pihak seperti Panwaslu, Bawaslu dan aparat hukum, termasuk KPK berperan aktif dalam mengawasi tindakan seperti ini.
“Mestinya aturan untuk Incumbent yang maju di Pilkada jangan cuti, tapi lebih tepatnya pada saat itu harus mundur dari jabatannya sebagai Wali kota. Karena, selama masa petahana itu cuti bisa disinyalirkan memberi peluang mempengaruhi kebijakannya meskipun waktunya singkat,” tukasnya.